ini cerpen pertamaku...
yang mungkin teronggok begitu saja di meja redaksi sebuah majalah..
haha.sekitar 3 tahun lalu. belepotan,tapi paling berkesan.
yang pertama emang susah dilupain. haha. monggo dibaca.
Untuk Bapak
“Cok, tolong ambilkan cangkul bapak!” teriak bapakku dari sawah.
Kuambil segera cangkul yang disandarkan di gubuk reot ini. “Biar Ucok saja,Pak”.”tidak, kau duduk lagi sana! Nanti kalau Bapak butuh apa-apa kau ada di sana.”
Aku pun berlari menuju gubuk tempatku menunggu Bapak sambil mengawasi burung-burung nakal yang akan mencuri bulir-bulir padi di sisi yang lain. Di sana kupandangi lagi bapakku. Ya, beliau adalah seorang petani. Tapi jangan bayangkan seorang petani kaya dengan sawah yang luasnya berhektar-hektar. Karena bapakku hanyalah seorang petani penggarap. Menggarap sawah orang dari pagi sampai sore dengan upah yang sangat kecil. Beliau, lelaki tua betubuh hitam dan kekar itu, adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Dialah yang selalu ada di sampingku lima belas tahun ini. Istrinya, ibuku, sudah lama meninggal limma belas tahun lalu ketika melahirkanku.
Dan di sini, di gubuk reot ini, aku berjanji pada diriku sendiri, pada seluruh alam yang membisu. Bahwa aku, Ucok Sitohang, akan berjuang sekuat tenaga, mengorbankan seluruh tumpahan darah dan keringat untuk meperjuangkan derajat bapakku. Aku ingin ketika beliau tua nanti dia tidak akan merasakan semua ini lagi. Aku ingin di masanya nanti, dia akan tahu bagaimana rasanya disapa dan diberi senyuman oleh semua orang sebagai orang terhormat yang tidak terlilit hutang, aku ingin beliau tahu bagaimana rasanya ayam bakar seperti di gambar di dinding bambu rumah kami untuk menutup lubang gigitan tikus, aku ingin beliau tahu bagaimana rasanya tidur di kasur yang empuk dan di bawah selimut yang hangat.
“Bapak, aku lulus, Pak!” berlariku menuju rumah yang tak jauh dari SMPku. “Iya Nak, alhamdulilah, bersyukur pada Allah.””Iya, Pak.”
Setelah itu, bapak mendudukkanku di ruang tamu. “Bagaimana, Cok, jadi kamu ke Jawa, Nak?”
”Tak tahu, Pak.””Menurut Bapak bagaimana? Ucok nurut Bapak saja.”
“Iya nggak bisa begitu, Cok. Ini hidupmu. Walaupun aku ini Bapakmu, tetap saja kau yang harus menentukan hidupmu. Minggu depan kapal Pak Togar merapat, lalu tiga hari kemudian berangkat lagi ke Jawa. Kalau kau jadi, Bapak bisa minta tolong sama Pak Togar. Tapi ya kau tau lah Cok, Bapak bisa apa.”
“Iya, Pak. Itu sudah banyak membantu, Pak. Terima kasih ya,Pak. Ucok tahu itu sudah berat kok, Pak.”
“Sebulan lagi, harus ada uang untuk pelunasan administrasi yang telah tertunggak tiga tahun ini,” gumamku ketika memandang kalender di kamar kontrakanku. Ya, aku telah tiga tahun di sini di kota Jakarta. Untuk biaya hidup sehari-hari, aku bisa mengandalkan upahku dari menjaga toilet umum di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Beruntung, aku berada di SMA yang baik dan cukup sederhana. Sehingga tunggakan biaya administrasiku tiga tahun ini tidak pernah dipermasalahkan. Tapi tidak untuk saat ini, saat menjelang ujian kelulusan, tidak ada sekolah yang berani mengambil risiko sebesar itu, termasuk sekolah seederhana macam sekolahku ini.
Kucari pekerjaan yg sekiranya bisa kulakukan. Tapi tak pernah kutemukan yang pas untukku. Ketika semua anak sibuk mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan dan tes untuk masuk perguruan tinggi. Aku malah sibuk mencari pekerjaan.
Pada suatu sore sepulang sekolah, “Denger-denger lo lagi cari kerjaan ya, Cok?” tanya David, temanku. “Ya, kau ada buat aku?” tanyaku antusias. “Ada sih, tapi terserah lo juga, mau pa gak?””Apa? kerjanya apa, Vid?””Gampang, lo cuma jadi kurir doing. Anter barang, jangan lo curi, jangan lo intip, pastiin tuh barang sampek ke orangnya. Upah lo dua juta. Udah lebih kan kalo buat nglunasin tunggakan lo?”.
Awalnya aku ragu, karena aku tahu orang macam apa David itu. Dia banyak bergaul dengan orang-orang yang menurutku kurang wajar. Tapi karena upah yang ditawarkan dan keadaan yang sangat menghimpitku, aku terima tawaran itu. Toh, aku tidak melakukan apa pun yang salah, aku hanya jadi kurir, tak ada yang salah.
Berjalanku menyusuri trotoar panjang ini, melewati bangunan-bangunan tua yang mengerikan. Sedikit, tinggal sedikit lagi, tinggal tiga bangunan lagi aku akan sampai di gudang rokok tua itu, dimana tugasku akan selesai dan aku akan dapat upah. Kemudian bisa ikut ujian, bisa lanjutin sekolah, bisa sukses, bisa buat bapak senang. Terbayang jelas senyum bangga dan mata berkaca-kaca bapakku sebelum akhirnya kurasakan ada sesuatu yang menghantam kepalaku, pusing, kurasakan sesuatu yang dingin mengalir perlahan di pelipiskuu. Ku sentuh, ku lihat, darah! Aku semakin pusing, sakit,nyeri, dan aku tak ingat lagi. Sepertinya aku pingsan.
Saat ini, setelah dua tahun lamanya, akhirnya aku kembali bisa merasakan segarnya udara kebebasan. Ya, setelah kejadian menjadi kurir dan dipukul orang itu, aku masuk penjara. Karena yang kubawa ternyata ganja yang sangat banyak, yang tak bisa kau bayangkan sebelumnya, seorang anak laki-laki yang belum lulus SMA pernah memegang benda semengerikan itu. Tak ada yang pernah percaya ada orang yang hanya dibayar dua juta untuk membawa risiko sebesa itu, kecuali anggotanya sendiri.
Belum lagi tiap empat bulan Pak Togar datang dan mengabarkan keadaan bapak di sana. Dan berita terakhir yang kudapat dari Pak Togar adalah bapak meninggal! Ya, bapak meninggal sebulan setelah aku masuk penjara. Beliau sakit-sakitan dan dicemooh banyak orang karena mati-matian membelaku di depan orang-orang. Beliau naik ke atas meja di warung kopi dan berteriak bahwa aku adalah anaknya, anak satu-satunya yang akan mengangkat derajatnya. Hingga akhirnya dia meninggal dalam kesendiriannya,dimakan usia dan kekecewaan, di gubuk reot kami. Tak ada kasur empuk dan selimut tebal yang kujanjikan dulu. Hanya ada gambar ayam bakar di dinding rumah kami yang berlubang.
Senyum sederhana dan mata berkaca-kaca yang kulihat dulu, sebagai kenangan terakhirku akan beliau. Hidup, memang terlalu kejam untuk diperjuangkan. Dan saat ini, aku tak tahu harus memperjuangkan apa, Pak. Tapi aku tahu, aku akan mendapatkan ayam bakar, kasur empuk, dan selimut hangat untukmu, Pak. Hanya untukmu. Tak kan kubiarkan orang lain membawanya, bahkan sekedar meyentuhnya. Karena itu hanya untukmu, Pak. Bapakku yang sederhana, bapakku yang tak pernah mengeluh..
bagaimana?aneh?hehehe
Persiapan Melahirkan Per-Vaginam dan C-Section Saat Pandemi
4 tahun yang lalu




yeni, hiks ceritanya sedih, tapi keren banget lo bisa bikin cerpen kaya gini :)
BalasHapushehehe,dita baca...jadi malu ni.
BalasHapustengs dit..:)
yeni aku blogroll ya :)
BalasHapusokee..:)
BalasHapus