Selasa, 04 Desember 2012

HIV/AIDS, Diskriminasi atau Safety, Siapa yang Tahu

Selamat awal Desember, selamat hari AIDS, jauhi virusnya bukan orangnya! :)

HIV/AIDS memang merupakan sebuah penyakit yang kompleks. Penyakit yang bisa dikaji dari berbagai perspektif pemahaman, profesi, dan nurani. Bukan satu-satunya penyakit yang ditakutkan semua orang namun selalu mengusik nurani para pemerhati insani.

HIV/AIDS muncul perlahan, gejala-gejalanya ringan, seperti sakit biasa apabila tak cukup jeli melihat. Namun begitu terdiagnosis tak bisa menyembuhkannya seringan gejalanya. Perlahan menggerogoti ketahanan tubuh inang. Belum ada obat yang sanggup menghentikan replikasinya, anti-retro-viral (ARV) hanya menghambat perkembangan dari virus HIV, tak benar sanggup menghabisinya.

Namun selalu ada unsur sosial yang terjentik setiap kali kasus HIV/AIDS muncul. Diakui atau tidak akan ada pertentangan batin bagi sesama, harus menghadapi pilihan antara peduli atau harus waspada. Dan perlu diakui pula, hal inilah yang menyebabkan sensitifitas terhadap berbagai perlakuan yang berkenaan dengan ODHA menjadi hal yang terlalu empuk atau malah rapuh untuk dikaji.

Seringkali ditemukan keluhan adanya diskriminasi bagi para ODHA, dalam kehidupan sehari-hari, pun dalam pelayanan kesehatan salah satunya. Pelayanan kesehatan, satu hal yang mungkin akan sangat erat berdekatan dengan para ODHA setelah terdiagnosis. Namun karena berbagai hal, masih dirasakan adanya diskriminasi pada para ODHA yang tentunya sangat membutuhkan bantuan. Mengenai diskriminasi pelayanan kesehatan bisa dilihat di sini ODHA-berhak-sehat.

Namun ada kalanya kita harus punya perspektif yang lebih holistik dalam memandang satu titik. Titik diskriminasi ini contohnya.

Perlu kita tahu, penyebaran HIV bisa melalui darah, sekret/cairan tubuh yang masuk ke dalam tubuh. Banyak kita temukan penderita HIV pada pasien pengguna obat terlarang, hal ini dikarenakan kemungkinan mereka menggunakan jarum suntik yang sama, sehingga darah dari satu orang bisa masuk dan bercampur ke dalam darah yang lain. Begitu pula pada orang-orang yang berganti pasangan, cairan sex yang saling bercampur satu sama lain kemungkinan mengandung HIV bisa menyebar oleh karena tindakan ini.

Bagaimana jika, darah atau cairan tubuh ini menyebar bukan karena tindakan ini? Bagaimana jika virus ini tertular pada orang-orang yang awalnya ingin membantu pada tindakan operasi? Pisau operas secara tidak sengaja melukai sementara di pisau tersebut terdapat darah penderita HIV. Bagaimana jika virus ini tertular pada orang yang ingin mengobati dengan menyuntikkan obat? Jarum suntik secara tidak sengaja menusuk kulit sendiri sementara pada jarum tersebut ada darah penderita HIV.

Ya, pelayan kesehatan lah yang berada paling dekat pada kondisi itu. Bahkan jauh lebih dekat dari keluarga pasien sendiri. Memang ini kelalaian, namun siapa yang berniat menjadi lalai?

Mungkin kasus ini tak banyak menjadi perhatian banyak pihak. Namun kasus ini nyatanya bukan satu dua tiga atau empat saja. Dan tentu cukup mengiris hati serta rasa takut dan mungkin kewaspadaan dengan kadar yang berbeda antar sejawat rekan kerja. Mengenai kasus resiko HIV/AIDS pada pekerja pelayanan kesehatan bisa dilihat di farmacia

Sehingga terdapat banyak peraturan safety yang diterapkan dengan harapan bisa dilakukan sebagaimana mestinya oleh para pelayan kesehatan. Karena seperti prinsip seorang relawan, yaitu keselamatan penolong adalah hal utama dan pertama, relawan harus menolong orang lain namun tidak boleh ada jatuh korban tambahan, pun termasuk dirinya sendiri. Dan para pelayan kesehatan, sudah sepatutnya menempatkan diri sebagai relawan.

Seperti ODHA, pelayanan kesehatan sayangnya bukan robot yang melulu bekerja sesuai tugas, mereka punya hati yang kecut dan takut. Dan para ODHA pun juga bukan manekin yang bisa diperlakukan semaunya, mereka juga punya hati untuk merasa peka.

Jika mau berkaca, sebenarnya tak ada yang pernah benar tahu batasnya. Apakah rasa sensitif lah yang mengartikan safety menjadi diskriminasi. Ataukah rasa takut lah yang memaklumkan sikap diskriminasi dengan alasan safety.

Karena AIDS sekali lagi merupakan penyakit yang kompleks, pun begitu manusia merupakan makhluk yang kompleks, adalah yang terbaik berkaca pada apa-apa yang telah kita lakukan.

Semoga slogan ini tak hanya akan menjadi slogan.
" Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya" :))

Dan mungkin bisa ditambah
 " Lakukan Safety Jangan Diskriminasi" :D

Surakarta, 4 Desember 2012
Mahasiswa, Calon Pelayan Kesehatan

2 komentar:

  1. setuju mba, jauhi virusnya bukan orangnya.
    lakukan safety bukan deskriminasi. Justru kalau kita membantu mereka agar bisa sehat, maka kemungkinan penularan penyakit tersebut malah lebih kecil, hadi melindungi kita juga.
    salam kemnal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal juga mbak
      namun sayang belum ada penyembuhnya ya mbak, tapi usaha menjaga kondisi tidak lebih buruk memang harus tetap kita lakukan ya :))))

      Hapus

 
blogger template by arcane palette