Jumat, 22 Oktober 2010

Sinkope, kejang, apa epilepsi hayooo?

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aktivitas manusia bergantung pada pengolahan neuron yang tersendiri, terorganisasi, dan kompleks. Banyak pola neuron penunjang kehidupan, seperti pola yang mengontrol pernafasan dan sirkulasi. Kelemahan tubuh sering terjadi dengan kualitas yang besar maupun kecil. Keadaan ini berhubungan dengan saraf sebagai media penghantar rangsang. Banyak penyakit yang dapat menyebabkan kelemahan anggota gerak baik remanen maupun permanen, salah satunya adalah stroke. Stroke adalah penyakit gangguan fungsi otak akibat adanya defisit neuron. Otak sebagai pengatur semua fungsi dalam homeostasis sangatlah berperan penting. Adanya gangguan pada otak akan menyebabkan tidak terkoordinasinya sistem dalam tubuh
Pada scenario dijelaskan bahwa seorang anak perempuan berumur 10 tahun yang dating di Poliklinik Penyakit Saraf setelah mengalami kejang untuk kedua kalinya. Kedua serangan tersebut berlangsung kira-kira 3 menit, diikuti dengan gangguan kesadaran, setelah kesadarannya kembali normal pasien dapat bermain game kembali. Pada saat tersebut pasien tidak mengalami demam. Orangtua pasien menyatakan belum pernah periksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertama kali. Dikatakan juga oleh orang tua pasien bahwa pada kejang yang kedua ini sebelum kejang pasien sedang bermain game di depan komputer.
Sebelum berumur satu tahun, pasien sering mengalami kejang pada saat badannya panas. Orang tua pasien mendapatkan laporan dari sekolah, bahwa pasien sering pingsan saat upacara.
Di poliklinik dokter mengatakan akan dilakukan pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium serta diberi obat untuk mengatasi kejangnya.
Dari skenario diatas, banyak masalah yang dapat ditemukan dan dapat diklarifikasikan. Dalam mengetahui penyebab masalah dan penyelesaiannya harus diketahui terlebih dahulu fisiologi saraf dalam tubuh dan hubungannya dengan proses homeostasis sehingga mempermudah memecahkan berbagai pertanyaan yang mungin timbul dari kasus tersebut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diperoleh dari analisis scenario tersebut antara lain:
1. Bagaimana patofisiologi dari keluhan-keluhan?
2. Termasuk kejang apakah yang dialami pasien pada scenario tersebut?
3. Faktor-faktor apa saja yang memperberat terjadinya kejang tersebut?
4. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis kejang?

C. Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini agar mahasiswa mampu
1. menjelaskan patofisiologi dari keluhan-keluhan
2. menggolongkan kejang yang dialami pasien pada scenario.
3. Menjelaskan factor-faktor yang memperberat terjadinya kejang tersebut.
4. Menjelaskan penatalaksanaan dan prognosis kejang





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. FISIOLOGI LEPAS MUATAN LISTRIK DAN TRANSMISI PADA SINAPS
Neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ekstraselular ke intraselular dan kurang sekali oleh ion Ca, Na, dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl dan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang dapat dipertahankan oleh adanya suatu proses metabolik aktif (pompa sodium) yang mengeluarkan ion Ca dan Na dari dalam sel. (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2005)
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan neuron lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi mebran neuron berikutnya. Zat kimiawi tersebut dikenal sebagai neurotransmitter. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmiter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmiter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi, sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik. Beberapa neurotransmiter yang tergolong neurotransmiter eksitasi yaitu : glutamat, aspartat, dan asetilkolin, sedangkan yang termasuk neurotransmiter inhibisi adalah gamma amino butiric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps bersifat memudahkan akan timbul lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan berlepas muatan listrik. Hasil pengaruh kedua jenis neurotransmiter pada sinaps akan memungkinkan impuls diteruskan ke neuron berikutnya. Segera setelah terjadi depolarisasi dalam waktu singkat sekali, keadaan potensial membran kembali seperti semula. (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2005)
B. Patofisiologi kejang
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik,sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktivitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh : 1. kemampuan membrane sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan ;2. Berkurangnya inhibisi neurotransmitter asam gamma amino butirat (GABA) ; atau 3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamate dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat inhibisi yang tidak sempurna.

C. Klasifikasi kejang
Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan klasifikasi International Against Epilepsy of Epileptic Seizure (ILAE) 1981 :

I. Kejang parsial (fokal, lokal)
A. Kejang fokal sederhana :
• Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomic (takikardia, brakikardia, takipneu, kemerahan), psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
• Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.

B. Kejang parsial kompleks : dimulai dari kejang sederhana lalu berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh
• Gejala motorik, sensorik, otomatisme (mengecapkan bibir, mengunyah).
• Mungkin akan berkembang menjadi kejang generalisata.
• Biasanya berlangsung 1-3 menit.

C. Kejang parsial yang menjadi umum

II. Kejang umum
A. Absens : disebut petit mal. menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, tonus postural tidak hilang, berlangsung beberapa menit. Kejang ini hampir sering terjadi pada anak-anak.
B. Mioklonik : kontraksi mirip syok yang mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai, cenderung berlangsung singkat.
C. Klonik : gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple di lengan, tungkai, atau torso.
D. Tonik : peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai.
E. Tonik-klonik : merupakan kejang epilepsy yang klasik. Diawali hilangnya kesadaran dengan cepat. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase klonik memperihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak.
F. Atonik : hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks).
III. Tidak dapat diklasifikasi

D. Gangguan kesadaran
Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan sekitar. Terdapat beberapa derajat ketidakmampuan dari ringan sampai berat :
• Obtudity : ingin tidur, terbangun dan mengikuti perintah bila ada rangsangan.
• Stupor : tidur terus menerus, gerakan spontan ada, ada respon dengan rangsang dan ada waktu bebas respon.
• Semi koma : rangsang sakit (+)

E. KLASIFIKASI EPILEPSI
Menurut Commision of Classification and Terminology of the International League against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:


1. Sawan parsial (fokal, lokal)
a. Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadaran tetap normal.
1) Dengan gejala motorik
a) fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
b) fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
c) versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
d) postural: sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
e) disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitan yang disertai ver-tigo.
a) somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
b) visual: terlihat cahaya
c) auditoris: terdengar sesuatu
d) olfaktoris: terhidu sesuatu
e) gustatoris: terkecap sesuatu
f) disertai vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat
b) dismnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
c) kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
d) afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut
e) ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak iebih kecil atau lebih besar
f) halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu dan Iain-lain.
b. Sawan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun.
a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran
b) Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, berbicara, dan Iain-lain
2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak
permulaan serangan
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme
c. Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
1) Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum
2) Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum
3) Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum

2. Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
a. Sawan lena
1) Lena khas (absance)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
• Hanya penurunan kesadaran
• Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral
• Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
• Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.
• Dengan automatisme
• Dengan komponen autonom
b hingga f dapat tersendiri atau kombinasi
2) Lena tak khas (atypical absence)
Dapat disertai:
• Gangguan tonus yang lebih jelas
• Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak
b. Sawan mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijuifipai pada semua umur
c. Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot Dijumpai terutama selcali pada anak.
d. Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak
e. Sawan tonik-klonik .
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang kelojot di seluruh badan. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.

3. Sawan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini iaiah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

F. Pemeriksaan penunjang
Elektroencephalografi (EEG) merupakanpemeriksaan penunjang yang menginformasikan yang dapat memastikan diagnosis epilepsy bila ditemuk pola EEG yang bersifat khas epileptika baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaaat adlah pemeriksaan foto polos kepala yang berguna untuk mendeteksi adanya fraktur tulang tenkorak; CT-Scan, yang berguna untuk mendeteksi adanya infark , hematom, tumor, hidrosefalus, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia, dan lain – lain.

G. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa menggagu kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengibatab epilepsy meliputi pengobatan medikamentisa dan pengobatan psiko social.
Pengobatan medika mentosa
Pada epilepsy simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi penyebabnya sepeti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, maka di samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula tetapi kausal. Beberapa prinsip dasar yag perlu dipertimbangkan :
1. Pada pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencentusnya, pemberian obat harus dipertimbangkan.
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakan; ini berarti pasien mengalami lebih dari sawan yang sama.
3. Obat yang diberikan setelah disesuaiakan denga jenis sawan.
4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Evaluasi hasilnya
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:
• Salah etiologi : kelainan metabolism, neoplasma yang tidak terdeteksi, adanya penyakit degeneratis sususnan saraf pusat.
• Pemberian antiepilepsi yang kurang tepat.
• Kuarang penerangan : menelan obat tidak teratur.
• Factor emosional sebagai pencetus
• Termasuk intractable epilepsi
7. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
Fenolbarbital, fenetoin, karbamazepin, asam valproat, klonazepam, diazepam
Pengobatan psikoksosial\pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimalsebagian besar akan terbebas dari swan, pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat bebas dari swan dan dapat belajar, bekerja, dan bermasyarakat secara normal.

H. Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebeas serangan paling sedikit 2 tahun, dam bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan , pasien tidak akan mengalami sawan lagi, dikatakan telah mengalami remisi, diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang palin sering didapat pasien sawan tonik-klonik dn sawan parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mangalami relaps sesudah remisi,

• Koma : rangsang (-)
Mekanisme gangguan kesadaran
1. Gangguan non-struktural terjadi karena gangguan pada korteks serebri secara bilateral. Hal ini dimungkinkan karena ada gangguan metabolisme seperti metabolisme oksigen, metabolisme glukosa, dll.
2. Gangguan srtuktural system retikularis batang otak-thalamus dan formatio activator reticularis. Hal ini terjadi pada keadaan trauma, perdarahan, tumor, infeksi, herniasi.
(Kapita selecta)

BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan terhadap gejala yang dialami penderita maka kemungkinan terbesar kelainan yang diderita penderita adalah gangguan impuls saraf yang menyebabkan kejang. Mekanisme gangguan ini ditunjang dengan berbagai faktor pencetus yaitu main game di komputer, demam.
Dimulai dengan kejang yang dialami penderita saat berumur satu tahun. Kejang yang terjadi saat badan panas (demam). Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi kenaikan suhu tubuh dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat akan terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang. Jika kejang berlangsung lama (>15 menit) biasanya apnea, hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat, hipotensi arterial dan suhu tubuh makin meningkat akibat meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metablisme otak meningkat, kejadian tersebut menyebabkan kerusakan neuron otak. Timbul lesi di daerah mesial bodi lobus temporalis menyebabkan resiko epilepsi.
Dari kejang awal menjadi tidak sadar. Serangan yang mulai sebagai serangan fokal baru disertai kehilangan kesadaran bila lepas muatan listrik menjalar dari fokus di cortex cerebri ke substantia reticularis di batang otak serta inti-inti thalamus bilateral dan dengan demikian melibatkan sistem aktivasi retikuler. Bila lepas muatan listrik tersebut cukup kuat, maka subsantia reticularis dan nuclei thalami akan melepaskan muatan listrik serta memancarkannya secara difus ke seluruh cortex cerebri melalui serabut-serabut thalamocortical dan serabut-serabut proyeksi nonspesifik. Neuron-neuron di cortex cerebri pada gilirannya akan melepaskan muatan listrik dan terjadilah kejang-kejang umum disertai kehilangan kesadaran.
Dari skenario penderita kejang saat maen game di komputer. Hal ini merupakan faktor sensoris pencetus kejang. Mungkin disebabkan cahaya dari layar monitor komputer. Selain cahaya, faktor pencetus kejang antara lain: a) faktor sensoris: cahaya berkedip-kedip, bunyi-bunyi mengejutkan, air panas b) faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obatn, hipoglikemia, kelelahan fisik c) faktor mental: stress, gangguan emosi.
Sejak menduduki bangku SD, penderita sering mengalami sinkope sata mengikuti upacara dan olah raga. Demikian akan dibahas mekanisme dari sinkope. Sinkope adalah suatu keadaan di mana penderita mengalami kesadaran yang menurun yang berlaku dalam waktu yang singkat. Setelah telentang, penderita segera siuman kembali. Keadaan ini timbul karena jumlah darah yang mengalir ke otak berkurang. Biasanya terjadi saat penderita berdiri dalam waktu yang lama di terik matahari (saat upacara, apel, dll). Juga saat kelelahan sehabis olah raga. Lelah menimbulkan hiperventilasi yang mengakibatkan pCO2 di dalam darah dalam otak akan menurun. Hal demikian menyebabkan vasokonstriksi yang dapat mengakibatkan anoksemia otak dan keadaan ini menimbulkan sinkope. Olah raga dapa pula menyebabkan takikardi. Takikardi ini mengakibatkan menurunnya Cardiac Output dan menimbulkan sinkope.
Penderita mejalani pemeriksaan EEG dan pemeriksaan laboratorium. Hal ini dilakukan untuk menentukan diagnosis pasti penyebab kejang, apakah kejang terjadi karena gangguan metabolik atau disebabkan gangguan pada otak. EEG (Elektroensefalografi) merupakan alat yang dapat merekan aktivitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempelkan di kulit kepala, di frontal, parietal, temporal, oksipital di kiri kanan daerah yang sama. EEG ini digunakan untuk penderita yang dicurigai menderita atau jelas menderita kelainan otak. Misalnya, untuk penderita epilepsi EEG dapat membantu menegakkan diagnosis serta menentukan jenis serta fokusnya, sehingga dapat membantu dalam pemilihan obat yang cocok. Pada kejang demam dapat membantu menentukan apakah kejang demam tersebut merupakan epilepsi yang diprovokasi demam atau suatu kejang demam sederhana. Sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan apakah kejang terjadi akibat gangguan metabolik. Pada pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa adalah darah dan LCS. Misalnya pemeriksaan kadar gula darah (adakah hipoglikemia), pemeriksaan kadar kalsium (Ca) (adakah hipokalsemia), pemeriksaan ureum (adakah uremia).
Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan. dalam anamnesis pelu ditanyakan: penyakit penderita, sudah berapa lama, bagaimana mulai bangkitan penyakitnya, riwayat penyakit keluarga,, dll. Pada pemeriksaan fisik diperlukan pemeriksaan refleks, pemeriksaan fungsi luhur, pemeriksaan neurologis. Dan pemeriksaan tambahan diperlukan pemeriksaan EEG, pemeriksaan laoratorium, pungsi lumbal.
Dari penegakkan diagnosis didaptkan diferensial diagnosis antaa lain: epilepsi, kejang demam, kejang karena gangguan metabolik dan kejang gangguan pada otak. Namun, untuk mengetahui diagnosis pasti masih menunggu hasil dari pemeriksaan EEG dan pemerisaan laboratorium.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kejang adalah lepas muatan paroksisimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan abnormal yang patologik. Kejang dapat terjadi jika terjadi gangguan metabolisme sehingga mengganggu permeabelitas membran sel sehingga konsentrasi K+ dalam sel turun dan konsentrasi Na+ naik. Penyebab lain juga adalah adanya neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan atau neurotransmiter inhibitorik yang defisit atau keduanya. Kejang yang diikuti tidak sadar terjadi jika bagian sistem aktivasi retikular terganggu, dapat pada substansia retikularisnya atau pada nuklei intralaminari talamiknya.
2. Sinkop atau pingsan adalah kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dengan konsekuensi terjadinya pemulihan sementara, terjadi akibat penurunan aliran darah ke sistem aktivasi retikular di batang otak. Pingsan yang terjadi karena berdiri yang lama di tempat yang hangat dapat terjadi karena hipersensitivitas vagal yang berkaitan dengan sinkop vasovagal.
3. Kejang demam adalah kejang pada bayi atau anak-anak yang terjadi akibat demam, tanpa adanya infeksi pada susunan saraf pusat maupun kelainan saraf lainnya. Kejang demam biasanya terjadi pada anak-anak yang berusia antara 6 bulan-5 tahun.
4. Epilepsi adalah gejala dan tanda klinis akibat gangguan fungsi otak secara intermitten yang terjadi oleh pelepasan muatan listrik abnormal dari neuron-neuron otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel. Prinsip pengobatan epilepsi adalah dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah, sesuai dengan jenis bangkitan, dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai. Pemberian pada bangkitan pertama direkomendasikan pada keadaan-keadaan tertentu.
B. Saran
1. Melakukan pemeriksaan menyeluruh kepada pasien sehingga dapat mendiagnosis penyakitnya dengan benar.
2. Memberikan terapi yang sesuai jika memang terbukti terkena epilepsi, memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga dan menghilangkan anggapan yang keliru dari masyarakat mengenai penyakit ini.
3. Konsumsi obat anti kejang secara teratur untuk mengurangi risiko terjadinya kejang.
4. Apabila serangan kejang kembali terjadi segera periksa kembali ke dokter.
5. Kurangi hal-hal yang dapat memicu kembali terjadinya kejang seperti rangsang cahaya yang berlebihan dan suara bising.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
blogger template by arcane palette